KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah tugas yang diberikan oleh Pak Geria
dengan makalah yang berjudul “Dinamika Perkembangan Kabinet Yang Berlangsung
Selama Masa Demokrasi Parlementer 1950-1959” ini dapat diselesaikan tepat
waktu.
Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyelesaian laporan observasi ini. Terutama kepada Pak Geria yang
telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam pembuatan makalah terutama pada pokok pembahasan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, sangat diharapkan masukan, kritik, serta saran-saran
yang bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan di kemudian hari.
Singaraja
, 26 September 2015
Penulis,
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Demokrasi adalah pemerintahan
rakyat, maksudnya pemerintahan memberi kekuasaan dan wewenang kepada
rakyat,semua keputusan berdasarkan suara rakyat. Jadi, Demokrasi Indonesia adalah
pemerintahan dari semua rakyat Indonesia,oleh rakyat Indonesia dan untuk rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Cara pemerintahan seperti ini menjadi
cita-cita semua partai Nasionalis di Indonesia.
Sejak bangsa Indonesia mencapai
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 selalu menjadi pertanyaan bagaimana sistem
pemerintahan yang tepat dan paling bermanfaat baginya. Indonesia menjadi salah
satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi menjadi pilihan bangsa
Indonesia sejak awal berdirinya. Perkembangan sistem demokrasi berlangsung
sejak tahun 1945 hingga masa sekarang. Berbagai model demokrasi pernah
diterapkan di Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut dari masa kemerdekaan sampai saat
ini. Hal ini dibuktikan dengan telah dilaksanakannya beberapa bentuk demokrasi
di negara Indonesia. Perkembangan demokrasi di Indonesia dibagi dalam empat
periode, yaitu Demokrasi pada Periode 1945–1959, Demokrasi pada Periode
1959–1965 (Era Orde Lama), Demokrasi pada Periode 1966–1998 (Era Orde Baru),
Demokrasi pada Periode 1998–sekarang (Era Reformasi)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perjalanan demokrasi
parlementer yang ada di Indonesia?
2. Kabinet apa saja yang pernah ada
saat demokrasi parlementer?
3. Apa saja rancangan kerja dari
masing-masing kabinet?
4. Kendala-kendala apa saj yang di
hadapi oleh masing-masing kabinet?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui perjalanan demokrasi
parlementer yang ada di Indonesia.
2. Dapat mengetahui kabinet yang pernah
ada pada demokrasi parlementer di Indonesia.
3. Mengetahui rancangan kerja dari
masing – masing kabinet.
4. Untuk mengetahui kendala-kendala
yang dihadapi oleh masing-masing kabinet.
ISI LAPORAN
Dinamika kehidupan kabinet pada masa
demokrasi Parlementer (1950-1959)
- Sejarah Pertumbuhan Demokrasi Di Indonesia
Untuk dapat melihat pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, sebelumnya perlu dilihat sejarah pertumbuhan Demokrasi
Pancasila berdasarkan aspek material dan formal sebagai berikut.
- Aspek
material, prinsip dasar Demokrasi Pancasila adalah hasil berpikir dan
ciptaan manusia Indonesia sebagai bagian integral dari sosial budaya
bangsa Indonesia. Pikiran dasar yang berkembang merupakan upaya bersama
manusia Indonesia dalam rangka memecahkan berbagai masalah kehidupan yang
dihadapinya. Untuk itu, unsur kebersamaan yang dijiwai oleh prinsip
kekeluargaan menjadi faktor utama. Dengan demikian, hasil pemecahan
masalahnya tetap berada dalam konteks kegotongroyongan dan kebahagiaan
hidup bersama pula.
- Aspek
formal, peristiwa 17 Agustus 1945 selain mendatangkan kehidupan
kemerdakaan bagi bangsa Indonesia, juga menghasilkan kehidupan
berkonstitusi tertulis/formal. Di dalam konstitusi telah disepakati dan
ditetapkan berbagai prinsip hidup bernegara, antaralain tentang hal kedaulatan
rakyat, kekuasaan presiden, DPR, kehakiman, MPR, dan sebagainya. Melalui
proklamasi, falsafah/ ideologi dengan sistem politik Demokrasi Pancasila
ditetapkan secara formal di dalam UUD 1945 yang selanjutnya digunakan
dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejarah mencatat bahwa dalam
perjalanan bangsa Indonesia setelah ditetapkan UUD 1945, telah terjadi
inkonstitusional terhadap hasil kesepakatan sistem politik. Hal ini terbukti
dengan banyaknya perubahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia selama kurun
waktu 50 tahun.
2.1.
Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia (1950-1959)
Secara
etimologi demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti pemerintahan atau kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Indonesia sendiri mengalami beberapa periodeisasi penerapan demokrasi.
Salah satunya pada tahun 1950 yang menerapkan demokrasi liberal.
Setelah
dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950,Negara RI dan Negara bagian lainnya yang
sebelumnya terpecah didalam suatu bingkai Negara Federal dipersatukan kembali
menjadi sebuah Negara yang berbentuk Kesatuan. Sesuai dengan Undang – Undang
Dasar Sementara (UUDS 1950) yang bernafaskan liberal, maka dilaksanakanlah
demokrasi liberal di Indonesia. Demokrasi Liberal disebut juga demokrasi
konstitusional adalah system politik yang melindungi secara konstitusional
hak–hak individu dari kekuasaan pemerintah. Indonesia dibagi manjadi 10
Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – Undang Dasar Sementara
tahun 1950. Pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada
parlemen ( DPR ).
Sistem
politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya
partai-partai politik, karena dalam system kepartaian menganut sistem multi
partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal
parlementer gaya barat dengan sistem multi partai yang dianut, maka
partai-partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui pertimbangan
kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959. PNI dan Masyumi merupakan
partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun( 1950 -1955 ) PNI dan
Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet.
2.2. Kabinet Indonesia Masa Demokrasi Parlementer
( 1950 – 1959 )
Masa
demokrasi liberal banyak partai politik yang ikut berkiprah dalam pemerintahan
di Indonesia. Akan tetapi partai – partai terkuat saling mengambil alih
kekuasaan yang mengakibatkan seringnya terjadi pergantian kabinet. Pada masa
demokrasi liberal ini terjadi tujuh kali pergantian kabinet, yaitu :
2.2.1
Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kabinet
Natsir merupakan kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama
setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan.
Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. Sedangkan
PNI (Partai Nasional Indonesia) yang merupakan partai kedua terbesar saat itu
lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet,
karena merasatidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang
dimiliknya.
Kabinet
ini dipimpin oleh Muhammad Natsir dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh
terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi pada kancah politik
Indonesia saat itu, diantaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr.
Asaat, Mr. Moh Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Program kerja kabinet Natsir :
1.
Menggiatkan atau meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.
Menguatkan konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Irian Barat pada masa ini merupakan wilayah-wilayah negara Indonesia yang
dijadikan boneka bentukan Belanda yang meski telah kembali ke pengakuan negara
kesatuan, tetapi wilayah RI belum sepenuhnya utuh karena wilayah Irian Barat
masih dikuasai Belanda. Oleh karena itu, pemerintah RI berupaya untuk merebut
kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Cara yang ditempuh oleh pemerintah RI
adalah dengan cara diplomasi, konfrontasi ekonomi, dan militer.
Hasil kerja :
1.
Memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
2.
Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
3.
Dilaksanakannya perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
1.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
2.
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, yaitu :
a.
Gerakan DI/TII
Gerakan DI (Darul Islam) dan TII
(Tentara Islam Indonesia) yang pada saat itu mempunyai keinginan yang tinggi
untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan
cita-citanya ini diwujudkan melalui proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal
7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat. Atas cita-citanya ini, gerakan ini
banyak melakukan pemberontakan pada masa kabinet Natsir diberbagai wilayah
Indonesia, seperti di Jawa Barat, Sulawesi Sealatan, Aceh, Jawa Tengah,
dan Kalimantan Selatan
b.
Gerakan Andi Azis
Gerakan ini merupakan pemberontakan
Andi Aziz di makassar (Sulawesi Selatan). Andi Aziz adalah kapten perwira
Koninklije Nederland Indische Leger (KNIL) yang melakukan pemberontakan disana
dengan menyerang APRIS karena menginginkan terbentuknya Negara Indonesia
Selatan (NIT).
c.
Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Gerakan ini dipimpin oleh Kapten
Raymon Westerling yang merupakan bekas komandan pasukan KNIL bentukan Belanda
di Indonesia. Tujuan gerakan ini adalah untuk mempertahankan bentuk negara
federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara-negara bagian
RIS.
d.
Gerakan RMS (Republik Maluku Selatan)
Gerakan ini dipelopori oleh Mr. Dr.
Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa Agung Negara Indonesia Timur).
Gerakan ini diawali dari ketidaksetujuannya atas terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ketidaksetujuannya ini dikarenakan adanya
penggabungan daerah-daerah negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga ia berusaha melepaskan wilayah
Maluku Tengah dar NIT (Negara Indonesia Timur) yang menjadi bagian RIS dan
mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan). Bahkan, pada tanggal 24 April 1950,
Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS.
Berakhirnya Kekuasaan Kabinet
Natsir :
Penyebab jatuhnya Kabinet Natsir dikarenakan
kegagalan Kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat, terjadi banyak
pemberontakan diberbagai daerah dan adanya mosi tidak percaya dari PNI pada
tanggal 22 Januari 1951 menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai
DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai
DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga
Kabinet Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 21
Maret 1951.
Penyebab
lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat
kritikan dari partai oposisi.Walaupun demikian terdapat beberapa prestasi yang
sempat ditorehkan pada masa kabinet ini seperti di bidang ekonomi, ada Sumitro
Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional,keberhasilan Indonesia
masuk PBB serta berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama
kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Pergantian Kabinet Natsir ke Kabinet
Sukiman :
Setelah kabinet Natsir mengembalikan
mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi
formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara
PNI dan Masyumi. Namun, usaha tersebut mengalami kegagalan, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28
Maret-18 April 1951). Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan
Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan,
namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi anatar Masyumi dan PNI
dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan
kemudian dikenal sebagai kabinet Sukiman.
2.2.2
Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Kabinet Sukiman berdiri setelah Kabinet
Natsir dibubarkan dan menyerahkan mandatnya kembali ke presiden. Awalnya
presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan
Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Nemun
terus saja usahanya tersebut mengalami kegagalan, mengingat Sartono merupakan
bagian dari PNI saja dan tidak ada dari pihak Masyumi. Sehingga Sartono
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret
– 18 April 1951).
Presiden
kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai
formatur. Awalnya kabinet ini banyak mengalami kesulitan namun akhirnya
mereka berhasil membentuk kabinet koalisi antar Masyumi dengan PNI dan sejumlah
partai kecil. Kabinet koalisi ini dipimpin oleh Sukiman, sehingga dikenal
dengan kabinet Sukiman. Kabinet ini, memiliki 7 pasal yang hampir sama dengan
kabinet Natsir, hanya saja beberapa hal mengalami perubahan dalam skala
prioritas.
Program Kerja :
1.
Bidang keamanan, menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum
untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
2.
Sosial-ekonomi,mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaruhi hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani. Juga mempercepat usaha
penempatan bekas pejuang di lapangan usaha.
3.
Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum.
4.
Di bidang politik luar negeri: menjalankan politik luar negri secara
bebas-aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5.
Di bidang hukum, menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh,
perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil Kerja :
Tidak
terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman. Banyak hambatan dalam kabinet Sukiman membuat
hasil kerja kabinet ini tidak maksimal.
Kendala / Masalah yang dihadapi
:
1.
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan
Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika.
Tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
2.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik, yang menyebabkan keamanan dan
ketentraman semakin tidak stabil yang tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Kegagalan
kabinet Sukiman dianilai dalam penangganan masalah keamanan dalam negeri,
memihaknya Indonesia kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security
Act (MSA) dengan pemerintah Amerika Serikat. Hal ini memicu munculnya
pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik
dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa
Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
2.2.3 Kabinet Wilopo (3 April 1952 –
3 Juni 1953)
Setelah
kabinet Sukiman berakhir, pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno
menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi )
menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di
bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat banyak dukungan dari PNI, Masyumi, PSI.
Program :
1. Program dalam negeri :
Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD). Program untuk
menyelenggarakan pemilu ini merupakan program yang diutumakan dalam kabinet
ini.
2. Meningkatkan kemakmuran rakyat,
meningkatkan taraf pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan rakyat.
3. Program luar negeri : Penyelesaian
masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan
Indonesia, serta konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil :
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1.
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya
harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus
meningkat. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi yang
semikin silit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standart profesional,
maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu
dikemablikan kepada masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan protes dikalangan
militer. Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng
menghadap presiden dan mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H.
Nasution. Hal ini menimbulkan kericuhan dikalagan militer dan menjurus kearah
kericuhan.
2. Terjadi defisit kas negara karena
penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunan
hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
3. Munculnya gerakan sparatisme dan
sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan
karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak
seimbang.
4. Munculnya sentimen kedaerahan akibat
ketidakpuasan terhadap pemerintahan.
5. Terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Adanya
konflik ditubuh angkatan darat yang diawali dari upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang
dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.
Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang
berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel
Bambang Sugeng sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada
menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya
surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan
keamanan di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di
berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Peristiwa 17 Oktober 1952
adalah peristiwa demonstrasi rakyat terhadap presiden yang menuntuk untuk
pembubaran parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan
samapai diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran
tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak mau m,enjadi dikatator,
tetepi khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi presiden akan
ditunggangi mereka.
Dalam
perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952
dari Angkatan Dart sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris Jendral Ali
Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa 17
Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution
mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution kemudian digantikan oleh
Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktobert 1952 tidak menyebabkan jatuhnya
kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan
masdyarakat terahadap pemerintah.
6.
Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli). Perkebunan tersebut adalah perkebunan milik orang asing,
yaitu perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Sesuai dengan perjanjian KMB
pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan
mengembalikan lahan perkebunan mereka kembalai serta memiliki tanah-tanah
perkebunan.
Pemerintah menyetujui tuntutan dari pengusaha
asing ini dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing
lainnya msuk ke Indonesia. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan
pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara
dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi
kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah
dihasut oleh PKI. Para petanipun melakukan protes kepada polisi dan
disambut oleh tembakan polisi sehingga jatuh korban dikalangan rakyat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Peristwa Tanjung Morawa ini dijadikan sarana
oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela
pemerintah. Akibatnya Kabinet wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
2.2.4
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Dua bulan
setelah Kabinet Wilopo mundur, terbentuk kabinet barau yaitu Kabinet Ali
Satroamijoyo (PNI) sebagai Perdana Menterinya.Kabinet ini merupakan kabinet
terakhir sebelum Pemilihan Umum I ,kabinet ini sering disebut Kabinet
Ali-Wongso atau Kabinet Ali-Wongso-Arifin. Dalam kabinet ini Masyumi sebagai
partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta dan sebagai penggantinya
Nahdatul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan politik baru. Sehingga, kabinet Ali
Sastroamijoyo ini merupakan gabungan dari PNI dan NU.
Program Kerja :
1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta
segera menyelenggarakan Pemilu.
2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan
peninjauan kembali persetujuan KMB.
4. Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil Kerja :
1.
Disusunnya kerangka panitia pelaksanaan pemilu.
2.
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
3.
Suksesnya Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1.
Masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII
di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di Aceh, kabinet Ali mendapat
kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang
menuntut Aceh sebagai provinsi dan meminta perhatian penuh atas pembangunan
daerah. Daud Beureueh menilai bahwa tuntutan itu diabaikan, ia menyatakan Aceh
akan menjadi bagian dari NII (Negara Islam Indonesia) buatan Kartosuwiryo
(September 1953). Usaha meningkatkan kemakmuran mengalami kegagalan karena
inflasi dan korupsi yang meningkat.
2.
Terjadi Peristiwa 27 Juni 1955 suatu
peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD
yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng
sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh
kabinet. Pengunduran Bambang Sugeng dikarenakan tugasnya sebagai KSAD
dinilai terlalu berat. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel
Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses
pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di
lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955
tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta.
Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
4.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat banyaknya
masalah-masalah yang belum dapat diselesaikan.Munculnya konflik antara PNI dan
NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya
pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Munculnya
konflik antara PNI dan NU yang menyebabkan NU memutuskan untuk menarik dukungan
kepada pemerintah dan menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli
1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Adanya hal ini memaksa Ali Sastroamijoyo
harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
2.2.5
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet
Ali digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap bertugas pada periode 12
Agustus 1955- 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiringan
dengan diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Kabinet ini
dipimpin oleh Burhanudin Harahap dari Masyumi.
Program Kerja :
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu
mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum secara
baik, maksimal, dan secepat mungkin menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru.
3. Masalah desentralisasi, inflasi,
pemberantasan korupsi.
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika
berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil Kerja :
1.
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih
anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai
politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan
4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi,
dan PKI. Setelah hasil pemungutan suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR
diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan
diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet baru
berdasarkan hasil pemilihan umum. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan
jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan
umum.
2.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
3.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh
polisi militer, salah satunya adalah menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus
korupsi di Departemen Kehakiman.
4.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat kembali Kolonel
AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala / Masalah yang dihadapi
:
Banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Serta banyaknya perseteruan antara para pemenang pemilu yang menyebabkan sidang
parlemen yang menjadi Deadlock.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet, sehingga kabinet pun
jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen
yang baru pula.
Sebenarnya
kabinet ini seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak ada mosi tidak
percaya dari parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer,
kabinet ini dengan sukarela menyerahkan mandatnya, setelah berhasil
melaksanakan Pemilu baik untuk anggota DPR maupun konstituante.
2.2.6
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet
Ali Sastroamidjojo II, sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas
pada periode 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957. Kabinet Ali kembali diserahi mandat
pada tanggal 20 Maret 1956 yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program Kerja
:
Program
kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program
jangka panjang, sebagai berikut.
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat ke
Indonesia.
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi
dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum
buruh dan pegawai serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan
keuangan negara.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan
negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
1.
Pembatalan KMB, pada tanggal 3 Mei 1956 untuk memperbaiki masalah ekonomi yang
mengalami kesulitan, disusul oleh munculnya gerakan separatisme yang dikenal
dengan PRRI/Permesta.
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban,
pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
3. Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil Kerja :
Mendapat
dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning
and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB,
beralihnya perusahaan Belanda menjadi milik Tionghoa (Cina), kepentingan
Belanda diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1.
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat yang tidak senang melihat
kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan
pengrusakan terjadi di beberapa kota.
2.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme. Pergolakan
daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut
kekuasaan di daerah dengan cara membentuk dewan militer, seperti Dewan Banteng
di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara
pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan
Manguni di Sulawesi Utara.
3.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib
modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya.
Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
4.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan
daerah. Sedangkan Ali Sastroamijoyo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib
mengembalikan mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Kemudian, tidak terima
akan hal ini, pada bulan Januari 1957 Masyumi menarik semua
menterinya dari kabinet Ali Sastroamijoyo II. Peristiwa itu sangat melemahkan
kedudukan Ali Sastroamijoyo sehingga pada pada tanggal 14 Maret 1957, Ali
Satroamijoyo akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Berakhirnya kekuasaan kabinet
:
Banyaknya
kendala-kendala dalam tubuh Kabinet Ali Sastroamijoyo II dan adanya
pertentangan antara PNI dan Mayumi yang membuat Masyumi menarik para
menteri-mentrinya untuk keluar dari Kabinet, membuat Ali Sastroamijoyo menjadi
lemah kedudukannya. Ditambah dengan banyaknya kedaaan yang sangat kacau dalam
negara, membuat Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Karena situasi negara yang kacau akibat
terjadinya gerakan separatisme, konflik dalam konstituante, maka presiden
menyatakan negara dalam keadaan bahaya (14 Maret 1957). Untuk mengatasi keadaan
ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan
bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara
di seluruh Indonesia. Pertentangan politik makin meluas, sehinggapembentukan
kabinet baru semakin bertambah sulit. Sementara itu partai-partai masih tetap
menempuh cara tawar-menawar kedudukan dalam bentuk kabinet baru.
Akhirnya
atas dasar keadaan draurat itu, presiden menunjuk dirinya sendiri menjadi
pembentuk kabinet. Presiden membentuk kabinet baru yang disebut Kabinet Karya
dan menunjuk Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri.
2.2.7
Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet
Karya atau Kabinet Djuanda ini resmi dilantik pada tanggal 8 April 1957 dalam
situasi negara yang sangat memprihatinkan.
Kabinet
ini merupakan zaken kabinet (kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak
berdasarkan atas dukungan dari perlemen karena kondisi negara yang dalam
keadaan darurat, tetapi lebih berdasarkan pada keahlian yaitu terdiri dari para
pakar yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan
konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta
terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dibawah
pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda, terdapat tiga orang wakil Perdana
Menteri, yaitu Hardi, Idham Chalid, dan Leimana. Tugas dari kabinet ini
sangatlah berat terutama menghadapi pegolakan-pergolakan yang terjadi
diberbagai daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat kedalam wilayah
Indonesia dan mengatasi masalah ekonomi serta keuangan ekonomi yang
sangat buruk.
Program Kerja :
Programnya
disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :
1.
Membentuk Dewan Nasional dan menampung atau menyalurkan aspirasi dari
kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat.
2.
Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3.
Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
4.
Perjuangan pengembalian Irian Barat.Mempergiat dan mempercepat proses
Pembangunan
Semua
program itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi di
daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta
keuangan yang sangat buruk.
Hasil Kerja :
1.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan
laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan
Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat. Melalui deklarasi Djuanda yang berhasil menetapkan lebar
wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan
titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Apabila ini diberlakukan, maka
wilayah Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan
lain sebagainya.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi
terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 14 September
1957 untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini
membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang,
dan pembagian wilayah RI dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan
negara.
4.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam
negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
5.
Pembersihan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1.
Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat.
Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
Peristiwa pemberontakan PRRI ini dimulai
ketika ketua Dewan Banteng pada tanggal 10 Februari 1958 mengeluarkan
ultimatum kepada pemerintah pusat yntuk membubarkan kabinet Djuanda. Kemudian,
ditanggapi oleh oleh ketua parlemen Sartono dan dengan tegas
memcat secara tidak terhormat Achmad Husein, dkk. Setelah pemecatan
ini, pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Husein memproklamasikan
“Pemerintahan Revolusioner Rebublik Indonesia” (PRRI) dengan Syariffudin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.menanggapi ini, pemerintah KSAD melakukan
usaha musyawarah untuk tidak mendirikan republik didalam negara republik juga untuk
memulihkan keamanan negara. Namun, usaha musyawarah tidak berhasil, sehingga
KSAD melancarkan operasi militer. Operasi ini merupakan operasi gabungan AD,
AL, dan AU. Perlahan-lahan, beberapa kota berhasil dikuasai KSAD seperti
Padang, Riau, dan kota-kota lainpun dapat dikuasai dengan singkat.
2.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah
sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3.
Terjadi Peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap
Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah
tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
4.
Munculnya Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada
tanggal 10 Februari 1958, yang diketuai oleh Ahmad Husein dan Sumitro
Djojohadikusumo. Bersamaan dengan berdirinya gerakan ini, mereka mengirimkan
ultimatum kepada pemerintah yang berisi tuntutan pembubaran Kbinet Karya dan
pembentukan Kkabinet baru yang dipimpinj oleh Moh. Hatta dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Selain itu, presiden diminta bertindak secara konstitusional
agar tuntutan itu dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir
saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Namun,kabinet ini juga sempat dihadapkan pada
situasi yang sulit ketika mengalami kegagalan dalam menghadapi pergolakan di di
daerah yang semakin meningkat,sehingga menyebabkan hubungan pusat dan daerah
menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta, keadaan
ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan,sehingga mengakibatkan krisis demokrasi liberal mencapai
puncaknya. Sampai pada akhirnya terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat
sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-putrinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
Pada
tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar
Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata
tidak menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan
berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan
Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi
dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara
semakin mengkhawatirkan.Pada tanggal 22 April 1959 dihadapan Konstituante, Presiden
Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang
Dasar 1945.Anjuran Presiden tersebut diberikan kepada Konstituante selama
kurang lebih tiga tahun berdebat tanpa berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar.
Juga mengenai anjuran presiden tersebut. Konstituante tidak berhasil memberikan
kata putus dan demikian kuatlah kesan bahwa partai-partai politik sebagai
keseluruhan tidak mampu untuk menembus jalan buntu dengan cara-cara
parlementer. Kabinet inipun akhirnya menjadi demisioner ketika Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga dimulailah babak
baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Buku
Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum 2013.
Ø Buku
Ajar Sejarah Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK sesuai dengan Kurikulum 2013.
Ø Buku
Advance Learning History 2 karya Nana Supriatna.
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Demokrasi dalam Pancasila yang diterapkan di Indonesia
merupakan jalan dan sarana penting untuk mencapai Tujuan Bangsa, yaitu
Masyarakat yang maju, adil dan sejahtera. Itu hanya terwujud kalau kehidupan
bangsa diliputi Dinamika dan Kreativitasi yang tinggi.
Pelaksanaan Demokrasi Liberal di Indonesia tidak berjalan
mulus. Peran kabinet di dominasi oleh parlemen. Peranan partai pada waktu itu
juga sangat kuat, sehingga sering terjadi benturan. Benturan-benturan ini
mengakibatkan munculnya mosi tidak percaya yang mengakibatkan runtuhnya kabinet
– cabinet yang telah dibentuk. Akibatnya, terjadi fase insibilitas (tidak ada
stabilitas) dalam bidang politik pemerintahan. Adapun kabinet-kabinet yang
pernah memimpin pemerintahan dalam kurun waktu 1950-1959 adalah sebagai berikut
:
-
Kabinet
Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951).
-
Kabinet
Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952).
-
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953).
-
Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955).
-
Kabinet
Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956).
-
Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957).
-
Kabinet
Karya atau Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
B.
SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membaca dan yang membutuhkannya, apabila ada kekurangan dari isi makalah
penulis berharap ada kritik dan masukan sehingga makalah ini bisa menjadi lebih
sempurna dari yang sebelumnya. Setelah
membaca atau mendengarkan makalah ini diharapkan kepada pembaca/ pendengar
mampu memahami pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia . Sehingga
mampumenjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.
Terima kasih atas kunjungannya☺
Tidak ada komentar :
Posting Komentar